Kabar5News – Dr. Taufan Hunneman kembali menelurkan prosa sastra terbarunya yang berjudul ‘Bunuh Diri Kelas’.
Karya ini melanjuti dua prosa Taufan sebelumnya yang berjudul ‘ Kisah si Anjing Kurap’ dan ‘Kisah Orang Selatan’, yang sebelumnya telah dimuat di Kabar5News.
Dan berikut adalah prosa sastra lengkap ‘Bunuh Diri Kelas’ karya Taufan Hunneman.
Bunuh Diri Kelas
Suaranya sudah tidak seperti dulu.
Kini lemah, frustrasi, dan tak lagi berdaya.
Lantang suaranya telah redup,
Tenggelam dalam jiwa yang kosong.
Tatapannya seolah ingin kembali ke romantisme era perjuangan di kampus.
Gelegaaaarrrr-nya hilang,
Seperti suara anjing yang terjepit.
Aku menghampirinya.
Dengan suara pelan, ia berkata,
_”Gimana kabarmu, kamerad?
Kudengar kau baru saja selesai S3.
Gimana anakmu dan istrimu?”_
Semua tak kujawab.
Batinku menjerit.
Kau ajarkan aku buku-buku Marxisme.
Kusibukkan diri menyelesaikan Das Kapital sejak muda,
Dan kau menyajikan semua itu dengan piawai, membuatku kagum.
Saat reformasi tiba,
Aku segera berbenah diri.
Kuselesaikan sekolahku, masuk dunia kerja.
Waktu demi waktu, kupelajari semua keterampilan dunia kerja.
Beasiswa kuambil, hingga aku lulus doktoral.
Tidak bagimu.
Reformasimu hanyalah awal dari revolusi.
Kau keukeuh dengan jalan Marxisme,
Yang bagiku hanyalah semacam utopia.
Aku memilih jalan Eduard Bernstein,
Bahwa sosialisme adalah distribusi kekayaan dan kesempatan yang sama.
Aku ingat kau pernah berkata di hadapan teman-teman,
Dengan suara gahar dan lantang:
_”Hei… kau kaum komprador dan oportunis,
Seperti kaum Menshevik yang pura-pura kiri,
Namun sejatinya kapitalis dan feodal.”_
Memang ada perbedaan tajam di antara kami.
Aku lahir dari keluarga nasionalis,
Hampir seluruhnya berlatar belakang TNI.
Sedangkan dia, ayahnya petani dan ibunya seorang ART.
Sedari dulu, dia menjadikanku sahabat sekaligus rival hidupnya.
Kuliahnya berantakan,
Namun masih terus bermimpi soal revolusi.
“Bunuh diri kelas!”
Wajahnya sore itu memelas sekali.
Teringat tahun 2003, terakhir kali aku berjumpa dengannya.
Kukatakan:
_”Bro, selesaikan sekolahmu.
Mulailah bekerja.
Entah di LSM atau di mana pun.
Sebab kita manusia organik… harus bertumbuh.”_
Kau tampik dengan kata-kata pedas dan tajam:
_”Aktivis macam kau inilah
Yang merusak gerakan.
Kau mau kenyang, kau mau kaya.
Tak ubahnya bermental feodal.”_
Kalimatnya tajam, menusukku.
Tapi tak kugubris.
Sejak awal, aku tidak tertarik pada komunisme.
Aku lebih tertarik pada sosialisme ala Barat.
Aku suka sekali SPD ( Social Democratic Party).
Kurenungkan 36 tesis John Meyer.
Kudalami kajian ekonomi Keynesian,
Meski lahir dalam mazhab kapitalis,
Namun memberi ruang bagi intervensi negara—
Yang diharamkan oleh mazhab klasik dan neoklasik.
Suaramu pelan,
Berbisik:
_”Adakah kau punya rezeki… sedikit…
Untuk pengobatanku, kamerad?”_
“Bro,” kataku,
_”Aku bukan kamerad, sebab sebutan itu cocok untuk anggota partai.
Aku bukan.
Soal pengobatanmu, aku bisa usahakan.”_
_”Tapi bro, apakah kau
Masih beromantika?
Masih berilusi revolusi?”_
Sore itu meyakinkanku,
Bahwa jalan perjuangan seorang aktivis
Adalah memberi penghormatan pada dirinya
Dengan bekerja.
Menghidupi.
Dia bunuh diri kelas.
Tergerus kemajuan zaman.
Komunisme dalam konsep Lenin dan Stalin sudah punah.
Bahkan di Tiongkok, Mao Zedong tak lagi semurni jalannya.
Ada variabel kapitalis yang digagas Deng Xiaoping.
Bahkan Kuba pun sudah terbuka.
Jalan komunis adalah jalan ilusif.
Saat aku muda, aku pernah berjumpa dengan eks tapol,
Seorang petinggi partai PKI di daerah.
Kutanya pertanyaan sederhana:
_”Kalau kalian mengaku kaum komunis,
Kenapa ikut pemilu tahun 1955,
Lalu mengganggu internal pemerintahan
Dengan jalan kudeta struktural—
Mengepung dan mengagitasi struktur kekuasaan
Sehingga selalu terjadi ketegangan?”_
Itu pun tak mampu dijawabnya.
Komunisme ibarat dogma
Yang telah kehilangan keluhuran nilai.
Aku membaca Manifesto Komunis, Das Kapital, Keluarga Suci, buku-buku Lenin.
Dan bagiku… itu adalah sampah.
Kubisikkan:
_”Kau punya istri?
Kau punya anak?
Sekarang, apa pekerjaanmu?”_
Agustus kemarin, ia penuh semangat lewat pesan WA.
Ia berkata, “Ini revolusi, Bung!”
Kubalas, _”Tidak. Ini barisan kriminal.
Sejak kapan anarko bisa populer dan berkuasa?”_
Lalu ia hilang,
Seiring redanya aksi.
Hingga kini, aku masih mengenangnya…
Seorang pintar yang mabuk revolusi,
Namun tak mampu membeli obat untuk dirinya.
Revolusi adalah slogan—
Kosong, penuh hampa.
*Bagiku, revolusi adalah perubahan diri,
Untuk memberi arti bagi nilai kehidupan.*