Sebuah prosa sastra karya Taufan Hunneman
Stanza 1
Njreeeeeenggg…
Dikisahkan seorang kyai sakti mandraguna, mampu menyembuhkan beragam penyakit. Ia memadukan nasihat kehidupan dengan ramuan herbal dari kebun belakang rumahnya. Selain sebagai tabib, ia fasih berbahasa Arab dan menjadi guru mengaji bagi anak-anaknya—bekal untuk perjalanan hidup mereka kelak.
Namanya Mbah Jenggot. Jenggotnya panjang menjuntai. Setiap hari ia menjalani rutinitas: bangun pagi, salat Subuh, lalu menyeruput kopi buatan menantunya sambil berbincang ringan dengan anaknya dalam bahasa Jawa beraksen selatan—aksen khas Gombong.
Namun pagi itu berbeda. Mbah Jenggot tampak lebih serius. Ia berdiskusi dengan anaknya, Wirokaryo, tentang masa depan keturunan mereka yang kelak akan banyak jumlahnya.
Kira-kira begini isi diskusinya:
“Wir, aku ini nggak bisa tidur. Sudah hampir tiga hari. Aku terus terbayang cucuku, anakmu si Ragil, Dashiah. Aku bermimpi dia pergi dari desa ini… lalu bertemu… setan Londo. Dia diboyong jadi istrinya.
Mbah benar-benar gusar. Peristiwa penangkapan Diponegoro masih membekas dalam hidupku. Aku menyaksikan ayahku, Kyai Bintoro, ditangkap dan dibuang ke tanah Minahasa. Semua karena tipu muslihat.
Tahun 1830 terjadi perang jawa yg telah menghancurkam keluarga kita.
—
Stanza 2
Tahun 1830 Diponegoro tertangkap. Cerita itu diriwayatkan terus menerus. Peristiwa penangkapan Diponegoro meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat selatan: Banyumasan, Magelang, Kebumen, hingga Cilacap.
Luka itu bukan karena kalah perang,
Melainkan karena ditipu habis-habisan oleh setan Londo.
Itulah sebabnya lukisan Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro sarat makna dan pesan simbolis.
Mimpi itu membuat Mbah Jenggot gusar.
Ia takut cucunya kelak menikah dengan bangsa yang ia benci—bangsa yang telah memisahkan ayahnya dan membuangnya ke tanah asing.
“Tangismu…
Hatimu…
Menyaksikan peristiwa itu…
Menorehkan luka…
Pada mereka…
Kolonialis…
Aku bersumpah,
Akan kuajari keturunanku—anakmu Wiro, yang berarti ksatria.
Akan kuajari cucuku,
Tentang cinta tanah Jawa.”
—
Stanza 3
Mbah Jenggot melawan mimpinya.
Tahun 1938, lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Dashiah.
Sejak lepas dari masa menyusu, Dashiah dirawat langsung oleh Mbah Jenggot.
Siang dan malam ia dinyanyikan tembang Jawa,
Agar kelak tetap menjadi orang Jawa sejati.
—
Stanza 4
Jepang datang di akhir tahun 1942.
Dengan kekuatan penuh, Benteng Van Der Wijck dikuasai.
Benteng itu menyimpan luka lama—tempat muslihat penangkapan Diponegoro yang membekas dalam hati Mbah Jenggot.
Pasukan Nippon:
Pendek-pendek, latihan baris-berbaris.
Semua orang dipaksa membungkuk memberi penghormatan.
Hidup terasa semakin muram.
Mbah Jenggot makin tua.
Selepas azan Subuh,
Ia tak menyeruput kopi seperti biasa.
Ada firasat.
Ia berjalan ke kebun,
Berjumpa barisan tentara Nippon.
Disuruh membungkuk, ia enggan.
Dibentak, diteriaki, tetap enggan.
Komandan Nippon marah, menamparnya.
Kakinya dipukul, tubuhnya dipaksa membungkuk.
Dalam perih dan luka, ia berkata:
“Hanya kepada Allah SWT aku bersujud.
Aku menghormati-Nya.
Tidak kepada kalian,”
Pukulan bertubi-tubi menghantam:
Kaki…
Badan…
Kepala…
“Aaaaaaaaahhhhh!”
“Bungkuk tidak!?”
“Tidak!
Hanya kepada Allah SWT aku bersujud!”
Matahari mulai muncul perlahan.
Orang-orang mulai melihat.
“Saudara tua macam apa yang menyiksa sedemikian rupa?”
Katanya Nippon datang sebagai sahabat.
Tapi sahabat macam apa yang begitu kejam?
Orang-orang mulai berbisik.
Wajah Mbah Jenggot penuh darah.
Wirokaryo berlari bersama adik-adiknya: Wirolaksono, Wirodijoyo, dan Wirodipati.
Mereka membopong Mbah Jenggot pulang ke rumah.
—
Stanza Terakhir
Mbah Jenggot berbisik:
“Buatkan aku ayunan di bawah pohon asem.
Aku ingin berteduh di sana,”
Setelah selesai,
Ia berbaring di atas ayunan.
“Wir, panggilkan anakmu, cucu kesayanganku.
Suruh dia mengayun-ayunkan aku sambil menyanyikan tembang Jawa yang sering kuajarkan,”
Dashiah patuh.
Perempuan yang kelak menikah dengan setan Londo ini…
Tetap nurut.
Diayun-ayunkannya pagi, siang, dan malam.
Tiga hari dalam ayunan,
Mbah Jenggot wafat.
Duka…
Semua hening.
Sahabat tua datang…
Dengan kebiadaban yang melampaui setan Londo.
Tamat