Kabar5News – Presiden Prabowo Subianto menyoroti kerugian besar negara akibat maraknya penyelundupan timah ilegal di Bangka Belitung. Menurutnya, praktik tersebut dalam dua tahun terakhir menimbulkan potensi kehilangan penerimaan negara hingga Rp67 triliun.
Ia menyebut kondisi ini sebagai bentuk “perampokan sistemik” terhadap kekayaan alam Indonesia.
“Kalau dihitung, pada September hingga Desember tahun ini kita bisa selamatkan sekitar Rp22 triliun, dan tahun depan diperkirakan mencapai Rp45 triliun hanya dari Bangka Belitung,” ujar Prabowo saat menghadiri Munas ke-VI PKS di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Prabowo menambahkan, pemerintah telah melancarkan operasi besar untuk menghentikan penyelundupan sejak 1 September 2025 dengan melibatkan Polri serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jalur laut yang sebelumnya sering digunakan penyelundup kini diawasi ketat.
“Mereka pakai kapal besar sampai perahu kecil. Semua sekarang kita hentikan. Tidak bisa keluar lagi,” tegasnya.
Menurut data pemerintah, sekitar 80 persen produksi timah Bangka Belitung sebelumnya keluar negeri secara ilegal. Melalui operasi ini, negara berharap dapat mengamankan kembali penerimaan yang selama ini bocor.
Ancaman dari Limbah Tambang
Selain timah, Prabowo juga mengingatkan soal limbah tambang yang ternyata mengandung mineral tanah jarang (rare earth) bernilai tinggi. Selama ini, material tersebut dianggap tak memiliki nilai ekonomi.
“Yang lebih mengkhawatirkan, ternyata limbah itu justru punya nilai luar biasa karena mengandung mineral tanah jarang. Jangan sampai ini juga ikut diselundupkan,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, ia memerintahkan Bea Cukai merekrut tenaga ahli kimia guna memastikan tidak ada mineral berharga yang ikut lolos.
“Saya sudah perintahkan agar setiap material tambang dicek benar-benar. Pasir pun harus diperiksa, jangan-jangan isinya jauh lebih mahal dari yang kita kira,” tambahnya.
Prabowo juga menyoroti keberadaan sekitar seribu tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Ia menilai kondisi ini terjadi akibat lemahnya pengawasan. “Kita harus bereskan. Ini jelas perampokan yang dibiarkan berlangsung lama akibat kelengahan elite,” katanya. Ia juga menekankan tambang ilegal lain seperti batu bara, bauksit, hingga nikel akan ditertibkan dan dikembalikan ke kendali negara.
PT Timah Kian Tertekan
Di sisi lain, PT Timah Tbk (TINS) sebagai perusahaan resmi negara mengaku sulit bersaing dengan para penambang ilegal. Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, menjelaskan perbedaan beban biaya menjadi penyebab utama.
“Yang ilegal jelas lebih murah karena mereka tidak bayar pajak, royalti, atau biaya reklamasi. Sedangkan kami harus patuh pada kewajiban itu. Akibatnya di lapangan kami tidak bisa bersaing,” ungkap Restu.
Untuk menekan kerugian, PT Timah membentuk Satuan Tugas internal guna menjaga wilayah izin usaha pertambangan (IUP) dan menertibkan kegiatan ilegal. Perusahaan juga berupaya merangkul penambang kecil agar beroperasi secara legal melalui wadah koperasi.
Meski begitu, tekanan persaingan tetap membuat kinerja PT Timah turun tajam. Direktur Operasi dan Produksi, Nur Adi Kuncoro, menyebut produksi bijih timah pada 2025 anjlok 32 persen dibanding tahun sebelumnya.
Faktor cuaca, keterbatasan alat, dan sulitnya akses tambang turut memperburuk kondisi. Dampaknya, pendapatan semester I 2025 ikut turun 19 persen menjadi Rp4,22 triliun dibanding periode sama tahun lalu.
Kondisi ini menunjukkan betapa besar dampak penambangan ilegal terhadap perusahaan legal milik negara.