Kabar5News – Membaca kisah Si Anjing Kurap terasa seperti memasuki lorong panjang antara satire, otobiografi, dan renungan filsafat jalanan.
Di satu sisi, narasi ini dibalut humor sarkastik yang vulgar, penuh metafora tubuh, suara, dan kisah cinta.
Namun di sisi lain, setiap fragmen justru memantulkan wajah sosial kita: keras, timpang, penuh paradoks.
Tokoh Si Anjing Kurap menyebut dirinya dengan nama yang hina. Tetapi di balik hinaan itu, kita menangkap sebuah cermin: bagaimana seorang manusia yang rapuh tetap mencoba mencari martabatnya.
Ia lahir di jalanan Jakarta, besar dalam kultur urban yang bising, lalu berkelana dari kota ke kota—Jakarta, Surabaya, Bali, Yogya—untuk mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan:
mengapa ada kemiskinan yang begitu telanjang, mengapa tubuh manusia bisa diperjualbelikan begitu murah, dan mengapa korupsi seperti kutukan yang tak habis-habis.
Narasi ini mengalir seperti catatan seorang aktivis muda yang pernah tergoda sosialisme, lalu kecewa karena ideologi itu tak selalu mampu menjawab kebutuhan manusia.
Ia menyaksikan para pengkritik negara begitu lantang, tapi gagal menjaga keluarga, gagal menjaga nurani.
Di titik itu, Si Anjing Kurap menemukan bentuk perlawanan yang lebih intim: bekerja, mendidik anak, dan terus bersuara di podium melawan korupsi.
Ada pula bab cinta yang begitu manusiawi. Kisah dengan Pere, gadis teknokrat pengagum Tan Malaka, menghadirkan perpaduan antara birahi, romantisme, dan nostalgia mahasiswa kiri.
Pere wafat muda, meninggalkan luka yang tak sepenuhnya sembuh. Namun di situlah keindahan narasi ini: cinta, politik, dan ideologi dijalin tanpa sekat, semuanya bagian dari tubuh seorang manusia yang rapuh sekaligus berani.
Akhirnya, Si Anjing Kurap berdiri sebagai sosok yang menolak lupa. Ia tahu dirinya penuh cacat, namun dari cacat itulah lahir keberanian untuk bicara lantang: “Jika saudara tidak korupsi, maka itulah keadilan.”
Pesan ini sederhana, namun berdentum keras, seakan mengguncang podium sejarah.
Maka, esai ini bukan sekadar catatan satir. Ia adalah doa yang kasar, jeritan yang jujur, sekaligus pengakuan manusiawi.
Si Anjing Kurap mengajarkan kita bahwa terkadang, suara paling tulus justru lahir dari mereka yang berani menyebut diri sendiri hina. Dan dari situlah, api perlawanan dan cinta menemukan bentuknya.