Kabar5News – Sejak pembukaan prosa ini pembaca langsung disajikan diksi yang kasar dan sarkastik, bahkan sebenarnya dari judulnya pun pemilihan “Anjing Kurap” sebagai karakter yang menarasikan cerita di dalamnya saya pribadi menilai bahwa prosa ini bergaya alegori politik. Sepertinya memang demikian, Penulis sengaja memilih gaya tulisan yang berkelindan antara fiksi sosial-politik dengan otobiografi yang jujur tanpa tedeng aling-aling.
Ini mengingatkan saya pada kekuatan simbolisme yang digunakan George Orwell dalam Animal Farm. Anjing Kurap kemudian menjadi bukan sekedar nama melainkan sebuah simbol yang sarat makna dan juga ironi.
Sebagai sebuah simbol yang mengatakan; sesekali menggonggong, sesekali menggaruk, (entah pantat, entah kepala)”, adalah alegori kaum terpinggirkan atau bisa juga kaum radikal yang sinis yang meskipun memiliki kebendaan yang “lumayan” (mobil, pakaian dan jam tangan), namun secara esensial masih merasa kotor, tidak nyaman dan terusik oleh penyakit sosial yakni kurap.
Ada pula pesan tranformasi ideologi. Perjalanan Si Anjing Kurap mencari jawaban atas pertanyaan; “kenapa ada orang miskin?” yang lantas membawanya keluar dari kenyamanan adalah alegori dari perjalanan seorang aktivis atau intelektual kiri namun perjalanannya berakhir dengan sebuah penolakan sinis terhadap revolusi sosialis. Dia bilang, “Sosialisme tidak lagi menarikku ke jalan revolusi. Enough!”
Itu adalah cerminan alegoris dari disilusi ideologi kiri paska Orde Baru yang melihat bahwa pemikiran radikalnya tidak lebih dari “kekonyolan, kedegilan, dan sekaligus eksperimen masa muda”. Alegori ini mencapai puncaknya pada sebuah kritik; “hebat mengkritik negara, tapi gagal mengelola karakter, keluarga, apalagi jika sudah manipulatif. Sebuah kritik tajam terhadap kemunafikan dalam barisan kaum radikal itu sendiri, sebuah distopia ideologis!.
#
Saya mengenal dan bersahabat dengan penulis semasa kuliah dulu, memang mengetahui bahwa meskipun tidak menggeluti terlalu dalam namun sesekali penulis menulis puisi. Dan ciri khas puisi karyanya adalah diksi yang vulgar dan sarkas.
Diksi yang mana mengingatkan saya kepada seorang sastrawan, A.A Navis dalam karya cerita pendeknya “Robohnya Surau Kami”, yang terkandung makna tersirat sarkasme religius dan sosial yang menusuk.
Deskripsi istri yang “uhuyyy” bak gitar Spanyol, “payudara diremas demi 50 perak”, lalu “demi 100 perak tubuhnya dicicipi”, dan juga deskripsi lugas tentang karakter seorang perempuan bernama Pere yang “hobinya tak pernah pakai BH” dan payudaranya “seperti pentil jambu air” atau kue nastar, begitu merefleksikan kejujuran yang menolak sensor.
Diksi seperti “Aku kecup bibirmu, kuraba payudaramu, kututupi dengan jaket pilot belel” adalah narasi anti-romantisme dalam mengungkap sisi naluriah manusia tanpa basa-basi moral.
Penggunaan kata-kata seperti “njreng, njring, njrooong” dan “Bohay alias si aduhai” menunjukan kedekatan Penulis dengan bahasa jalanan yang blak-blakan. Hal mana melabrak batasan yang menciptakan jarak antara sastra yang santun dan kaku dengan dialek lisan yang hidup.
Sarkesme prosa Kisah Si Anjing Kurap mencapai puncaknya adalah ketika menggambarkan Pere. Pere adalah mahasiswi teknokrat yang disebut kaum priyayi modern-kolot, banyak aturan ini-itu, boleh dan tidak boleh, yang semuanya dilanggar Pere. Sebuah kontradiksi antara latar belakang priyayi yang kolot dan pilihan ideologis yang Marxis (suka Madilog dan pecinta Tan Malaka), merupakan sindiran terhadap aktivisme yang modis.
Kecemburuan Si Anjing Kurap pada Tan Malaka bukan karena ideologinya melainkan karena fotonya lebih besar di dompet Pere adalah sarkasme pribadi yang mendalam terhadap aktivisme yang terkadang lebih fokus pada simbolisme idola daripada esensi perjuangan.
Ikhtisar
“Kisah Si Anjing Kurap” adalah prosa yang hendak menjalankan maksud tersirat penulis; menyajikan kritik sosial-politik melalui sifat karakter yang manusiawi, sinis dan vulgar. Penulis secara cerdas menggunakan tokoh “Si Anjing Kurap” sebagai antitesis dari pahlawan revolusioner klise. Ia akhirnya telah menemukan kedamaian dalam keradikalannya saat ini yakni “radikal dalam berjuang untuk keluarga”. Namun demikian tetap mempertahankan gema suara lantangnya melawan korupsi besar negara.
Ini adalah karya yang menolak untuk “menjadi baik atau terlalu heroik”, melainkan memilih untuk menjadi realistis, keras dan menusuk sebagaimana suara gonggongan seekor anjing kurap di tengah kemakmuran yang terdistorsi.
#
Ulasan ini dituliskan oleh Bobby Revolta yang merupakan Penulis buku, blogger dan novelis. Karya-karyanya seputar tema sejarah dan cerpen tentang kemanusiaan. Salah satu buku yang ditulis oleh Bobby Revolta berjudul “Operasi Seroja, Di Timor-Timur Dahulu Kami Berjuang Untuk Negara”