Kabar5News – Sebagai pembaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer ada satu buku kompilasi novel yang membuat saya terenyuh sehabis membacanya, yakni “Kisah Dari Blora”. Fragmen-fragmen cerita di dalamnya begitu naratif sehingga ketika membacanya saya bisa merasakan kegetirannya.
Tentu saja saya tidak hendak mengatakan bahwa Taufan Hunneman setara dengan Pram, hanya saja pada prosa “Kisah Orang Selatan” saya mendapatkan suasana kegetiran yang dekat.
Karena boleh jadi pada “Kisah Dari Blora”, berlatar di daerah Blora di Jawa Tengah bagian utara dan “Kisah Orang Selatan”, berlatar kisah di daerah Gombong di Jawa Tengah bagian selatan, keduanya mengandung resonansi sejarah Republik Indonesia.
Kemudian, yang pertama suasananya Indonesia beberapa tahun paska Proklamasi kemerdekaan, sedangkan yang kedua suasananya Indonesia beberapa tahun menjelang Proklamasi, dan lagi-lagi kesamaannya adalah kegamangan akan masa depan.
“Kisah Orang Selatan” terhubung erat dengan kolonialisme, bercorak realisme-historis. Sebagai tokoh utamanya adalah sosok Mbah Jenggot, seorang kyai, tabib dan guru mengaji.
Adalah tipikal “orang kecil”, atau orang biasa pada era itu. Hidupnya hancur, terasing dan terpaksa beradaptasi dengan kekejaman zaman baik di bawah kolonial Belanda maupun pendudukan Jepang.
Meskipun demikian Mbah Jenggot tidak hanya digambarkan sakti mandraguna, sebuah atribut yang melambangkan kebijaksanaan lokal atau spiritualitas Jawa, ia juga menjadi penjaga ingatan sejarah.
Kegelisahannya bukan soal harta apalagi kedudukan, melainkan kemurnian identitas Jawa yang mendalam dan trauma kolonial yang diwariskan.
Sebuah trauma yang berakar dari Perang Jawa (1825 – 1830) dan penangkapan Pangeran Diponegoro yang digambarkan sebagai “tipu muslihat”, yang berujung pada pembuangan ayahnya, Kyai Bintoro.
Hingga pada suatu hari Mbah Jenggot memanggil anaknya Wirokaryo. Diskusi merekalah yang menjadi kunci narasi prosa ini.
Mbah Jenggot berkata ia tidak tidur selama hampir 3 hari dikarenakan bermimpi tentang cucunya, Dashiah yang kelak akan bertemu “setan Londo” dan memboyong menjadi istrinya.
Dalam diskusi itu Mbah Jenggot bukan hanya mengutarakan ketakutan pribadi, melainkan juga sebuah ramalan tentang kontaminasi identitas dan kegagalan menjaga nilai.
Maka ia pun bersumpah akan mengajari cucunya tentang cinta Tanah Jawa. Sebuah upaya heroik untuk melawan mimpinya, melawan arus sejarah.
Penindasan Dari Londo ke Nippon
Babak baru dimulai, dengan kedatangan bangsa Jepang. Siklus penindasan berganti rupa. Benteng Van Der Wijk di Gombong yang diangkat sebagai tempat muslihat penangkapan Diponegoro menjadi lokasi dimana luka lama dibuka kembali dengan kedatangan bangsa Nippon di akhir 1942
Namun demikian kontrasnya sangat tajam. Apabila Londo menipu dengan muslihat sedangkan Nippon datang sebagai “saudara tua” namun mempraktikan kekejaman fisik.
Hingga peristiwa itupun dialami oleh Mbah Jenggot. Hanya dikarenakan menolak kehendak Nippon untuk membungkuk ia mendapat bentakan, tamparan hingga hingga pukulan bertubi-tubi. Satu peristiwa yang merupakan klimaks narasi prosa “Kisah Orang Selatan”.
Klimaks cerita berakhir dengan ironi tragis. Menjelang wafatnya sehabis dipukuli Nippon ia minta dibuatkan ayunan di bawah pohon asem, untuk bisa berbaring di sana.
Lalu Mbah Jenggot meminta cucu kesayangannya, Dashiah mengayun-ngayunkannya sambil menyanyikan tembang Jawa yang sering diajarkannya.
Adegan penutup prosa lalu berfokus kepada kegelisahan awal; “Perempuan yang kelak menikah dengan setan Londo ini … Tetap nurut”.
Setelah tiga hari dalam ayunan, Mbah Jenggot akhirnya wafat. Wafatnya menggarisbawahi kegagalan usahanya melawan takdir, yaitu takdir Dashiah diboyong dan menikah dengan setan Londo.
Meninggalkan pertanyaan getir; apakah semua perjuangan Mbah Jenggot, termasuk pengorbanan nyawanya, akhirnya gagal mencegah bangsa “Londo” ke dalam garis darahnya?
Saya rasa jawabannya adalah; kepatuhan Dashiah yang mengayun-ayunkan sambil menyanyikan tembang Jawa dapat diinterpretasikan sebagai kemenangan simbolis Mbah Jenggot.
Meskipun Dashiah kelak akan diboyong “setan Londo”, namun akar warisan leluhur dan tembang Jawa telah tertanam dalam dirinya.
#
Ulasan ini ditulis oleh Bobby Revolta yang merupakan penulis buku, blogger dan novelis. Karya-karyanya seputar tema sejarah dan cerpen tentang kemanusiaan. Salah satu buku yang ditulis oleh Bobby Revolta berjudul “Operasi Seroja, Di Timor-Timur Dahulu Kami Berjuang Untuk Negara”