Kabar5News – Hampir dipastikan bahwa banyak diantara kita yang tidak mengenal, bahkan abai kepada sosok yang wajahnya dicetak pada uang koin 100 Rupiah. Padahal kontribusi beliau untuk Republik Indonesia pada masa perang kemerdekaan tidak main-main. Dia adalah Prof. Dr. Ir Herman Johannes.
Herman Johannes lahir di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, pada 28 Mei 1912. Anak keempat dari enam bersaudara. Kecerdasannya sudah terlihat semenjak usia belia, ia menguasai 3 bahasa, yakni bahasa daerahnya (Timor), Indonesia dan Belanda.
Masa Pendidikan
Pendidikannya dimulai di Sekolah Melayu di Baa, Rote. Lalu melanjutkan ke Europesche Lagere School (ELS, setara SD) di Kupang pada tahun 1922, berlanjut ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara SMP) di Makasar pada tahun 1928 dan Algemene Middelbare School (AMS, setara SMA) di Jakarta pada tahun 1931.
Karena prestasinya gemilang saat mengenyam bangku AMS ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi di Technische Hogeschool te Bandoeng, cikal bakal ITB.
Pada saat kuliah di THS benih jiwa organisasinya mulai terlihat. Ia aktif dalam berorganisasi lalu mendirikan perkumpulan bernama “Perserikatan Kebangsaan Timor” dimana ia duduk sebagai ketuanya. Selain itu pula dia aktif menulis karya ilmiah, bahkan karyanya pernah dimuat di majalah kolonial, De Ingenieur in Nederlandsch Indie.
Masa Pendudukan Jepang
Di masa pendudukan Jepang studinya di THS terpaksa harus berhenti, dikarenakan Jepang menutupnya. Namun kondisi tersebut tidak membuatnya berhenti belajar. Bahkan ia malah aktif mengajar pada beberapa sekolah tinggi yakni Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta dan Akademi Militer di Yogyakarta.
Pada tahun 1944, Jepang kembali membuka sekolah tinggi tekhnik di Bandung dengan nama Bandung Kogyo Daigaku, yang setelah kemerdekaan berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung. Herman Johannes akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah tingginya di sana dan meraih gelar insinyurnya.
Pada tahun 1946, dikarenakan NICA menduduki Jakarta yang memaksa ibukota negara Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, faktor itulah pula yang menyebabkan STT Bandung turut hijrah ke Yogyakarta. Kondisi itulah yang bakal menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM).
Masa Perang Kemerdekaan
Karena pengetahuannya di bidang fisika dan kimia, pada tahun 1946 Herman Johannes mendapat tugas penting dari pihak militer Republik Indonesia untuk membangun dan memimpin laboratorium persenjataan di Yogyakarta. Tugas utamanya adalah meracik bom atau bahan peledak, dikarenakan memang persenjataan TNI saat itu sangat minim.
Disitulah ia menunjukan keahliannya sebagai ilmuwan sekaligus juga pejuang. Salah satu temuannya adalah bahan peledak yang ia beri nama Gondorukit, campuran dari gondorukem dan klariumklorit. Bayangkan, dia membuat bahan peledak dari gondorukem, yakni hasil olahan getah pinus!. Dihasilkan melalui proses destilsi dan penyulingan.
Bahan peledak Gondorukit tersebut digunakan untuk misi meledakkan jembatan-jembatan strategis di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk memperlambat mobilitas pasukan Belanda. Bom Gondorukit juga digunakan pada saat Serangan Umum 1 Maret, di Yogyakarta pada tahun1949.
Atas jasanya tersebut Herman Johannes diangkat menjadi anggota militer dengan pangkat terakhir Mayor TNI dan ia dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958.
Kembali ke Dunia Sipil
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1949, Herman Johannes kembali ke dunia pendidikan dan mengabdikan separuh hidupnya disana. Setelah menjabat sebagai Mahaguru di STT Bandung di Yoyakarta, ia lalu mendirikan Fakultas Teknik UGM. Di UGM ia menduduki jabatan penting, yaitu Dekan FT UGM, Dekan Fak. Ilmu Pengetahuan Alam, kemudian sebagai Rektor UGM ke-2 di tahun 1961-1966.
Selain di bidang pendidikan, ia berkiprah juga di pemerintahan. Pada tahun 1950 hingga 1951 dipercaya oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga. Lalu pada masa Orde Baru, selama satu dekade (1968 – 1978) ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi).
Sepanjang hidupnya, ia telah menulis 153 karya ilmiah, hingga Juli 1983. Prof. Dr. Ir. Herman Johannes wafat pada 17 Oktober 1992. Atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara pada tahun 2009 ia dianugrah gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Namanya juga menjadi nama satu jalan di Yogyakarta yang menghubungkan kampus UGM dengan jalan raya Solo. Wajahnya pun diabadikan dalam bentuk uang koin pecahan 100 rupiah.