Kabar5News – Tanggal 5 Oktober lalu diperingati sebagai HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 80. Usia yang terbilang cukup matang sebagai satu institusi negara yang telah menjalani berbagai peristiwa yang membentuk karakter TNI hari ini. TNI yang dari hari-kehari kian menunjukan transformasinya sebagai tentara profesional sebagai garda terdepan penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum menjadi menjadi TNI seperti sekarang ini, ada baiknya kita mengetahui tokoh utama yang sangat berperan membentuknya. Tokoh itu adalah Jenderal Oerip Soemoharjo. Terlahir dengan nama Muhammad Sidik, pada tanggal 22 Februari 1893 di Purworejo. Dikarenakan sewaktu masih kecil ia sering sakit-sakitan dan pernah terjatuh dari pohon yang membuatnya tidak sadarkan diri selama beberapa jam, maka menurut kepercayaan Jawa namanya perlu diganti. Atas saran dari kakeknya digantilah namanya menjadi Oerip, yang berarti “hidup”.
Terlahir dari keluarga priyayi. Sebelum memilih jalan hidup sebagai tentara ia sempat menempuh pendidikan untuk menjadi pegawai negeri atau Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Pada tahun 1914 dia diangkat menjadi letnan dua Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Karir militernya di KNIL berakhir pada tahun 1938, dia pensiun dengan pangkat terakhir mayor.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 pengalaman militernya sangat dibutuhkan. Ia kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Peran utamanya adalah meletakkan dasar organisasi, disiplin, dan profesionalisme angkatan perang Republik Indonesia yang baru berdiri.
Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana kita ketahui Belanda tidak serta-merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan dengan membonceng pasukan NICA yang pada dasarnya bagian dari tentara Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia ke 2, Belanda berusaha merebut kembali tanah jajahannya, Indonesia.
Pemerintah yang baru terbentuk yang dipimpin Soekarno-Hatta mengetahui bahwa kekuatan militer NICA sangatlah besar, maka dari itu mereka mengambil langkah yang sangat hati-hati dengan tidak segera membentuk tentara nasional. Semua itu dengan maksud menghindari konflik dengan NICA/Sekutu dan menghapus citra militeristik paska kekalahan Jepang, dimana saat menduduki Indonesia para pemuda dilatih oleh Jepang dalam organisasi militer dan semi militer seperti PETA dan Heiho.
Maka dari itu, diawal kemerdekaan alih-alih membentuk organisasi tentara/angkatan perang pemerintah memilih membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang fungsinya semata-mata menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Respon Oerip Soemoharjo
Dalam situasi tersebut, Oerip yang seorang veteran perwira militer justru merasa aneh dan khawatir. Ia justru menekankan pentingnya oganisasi pertahanan yang profesional. Baginya Indonesia sebagai negara yang baru merdeka sangat rentan terhadap ancaman pihak Belanda yang berusaha kembali merebut Indonesia, haruslah memiliki alat pertahanan yang sah dan kuat. Tidak adanya tentara reguler sama dengan membiarkan kedaulatan negara tanpa penjaga. Dari kondisi itulah yang menjadi latar-belakang kutipan Oerip Soemoharjo; “Aneh suatu negara zonder (tanpa) tentara”, yang terkenal itu.
Kemudian ia mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah pragmatis dengan mendirikan institusi militer demi keselamatan dan kedaulatan negara. Desakan itupun membuahkan hasil dengan dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal itulah ditetapkan sebagai hari lahir TNI.