Oleh Bobby Revolta. Penulis buku “Operasi Seroja”, Blogger & Novelis
Kabar5News – Kemarin sore (16 Oktober 2025) aplikasi WhatsApp saya berbunyi, pengirimnya adalah Taufan Hunneman.
Dia mengirimkan pranala tulisan prosa terbarunya yang berjudul “Kiri Namanya”.
Baru saya simak sejenak saja prosa satu ini kontan menggelitik naluri saya untuk memberi semacam ulasan.
Sebagai penikmat karya-karya tulis baik dalam bentuk novel maupun skrip oleh dua orang “gila” yakni Teguh Esha (Ali Topan Anak Jalanan) dan Upi (Radit & Jani), karya Taufan kali ini diksinya mendekati dua penulis yang saya sebut tadi; V U L G A R.
Maka dari itulah prosa “Kiri Namanya” tak bisa dilewatkan oleh saya untuk sekadar mengulasnya.
Prosa “Kiri Namanya” menyajikan sebuah teks yang kuat, provokatif dan sengaja dilumuri nuansa vulgar.
Menjadikannya seakan lahir dari seorang Teguh Esha dalam diksi slang urban yang nakal dan berani, dipadu dengan pemilihan kalimat yang lugas, implisit (sebenarnya sih eksplisit juga, hehe. – Penulis-), dan mengabaikan kemunafikan sebagaimana skrip film Upi di era Radit & Jani.
Prosa ini secara samar tapi tajam menelanjangi, sekaligus melecehkan terma-terma “kiri” atau Marxisme, menggunakan bahasa yang keras, sinis dan tak jarang “jorok”.
Pendekatan diksi dan pemilihan kalimat dalam prosa ini berhasil menciptakan suasana “jalanan” dan realistis secara brutal.
Penggunaan nama-nama seperti si karakter utama, Kiri, Kiri Mentog, Genjer, Lenina, Stalinan, Merah, Revolita, hingga anak yang diberi nama Anarkho, adalah sebuah provokasi liguistik yang cerdas.
Nama-nama yang seharusnya “sakral” dalam narasi ideologi Marxisme atau historis kiri direduksi menjadi nama-nama biasa yang melekat pada karakter pinggiran, seperti buruh harian, bahkan PSK dan pecandu seks.
Kata-kata seperti “”percintaan liar di luar batas sekat”, “bercinta tanpa bayaran” karena “kelebihan hormon seksual”, atau deskripsi vulgar tentang puting “bagai jengkol” dan wajah pejabat yang “mirip tikus got”, adalah cerminan dari diksi vulgar, blak-blakan dan tanpa sensor yang mengingatkan dialog-dialog berani dan apa adanya di film karya Upi.
Diceritakan, karakter bernama Kiri yang hidup dalam kemiskinan (sebuah latar ideal untuk menjadi seorang revolusioner Marxis), justru tidak pernah menemukan kesadaran kelas atau revolusi ideologis.
Alih-alih demikian, ia justru menemukan jalan keluar instan melalui pemuas seks Merah, si perempuan simpanan pejabat, dan akhirnya naik status menjadi supir Merah sekaligus pemuas seks.
Kiri melupakan kekumuhan dan ayah-ibunya.
Ideologi kelas diganti ideologi hasrat dan konsumsi, yang digambarkan: rambut klimis berkat gel mahal (bukan lidah buaya lagi), sepatu branded dan berpesta-pesta.
Menjadikan kisah Kiri semacam anti-tesis Marxisme, yang menegaskan bahwa nafsu kapitalis dan hedonisme jauh lebih kuat daripada panggilan solidaritas kelas.
Prosa ini seolah menolak romantisasi kemiskinan dan perjuangan kelas dan justru menggantinya dengan realitas bahwa jalan keluar yang dicari kaum marjinal seringkali adalah kenikmatan pragmatis, transaksi seks dan kemewahan kecil yang diperoleh dari kelas penindas, alih-alih revolusi.
Taufan Hunneman menunjukan kemampuan menulis yang cerdas dan tanpa kompromi, berhasil memadukan keberanian diksi Teguh Esha dan eksplisitasi ala Upi untuk menghasilkan karya prosa yang berfungsi sebagai kritik sosial tajam sekaligus dekonstruksi sinis terhadap narasi “kiri”.
Keterampilannya dalam mengolah kosakata “jorok” dan menggunakan nama-nama ideologis secara ironis, menjadi pembuktian ia penulis yang mampu memanfaatkan gaya populer dengan bahasa jalanan untuk menyampaikan pesan filosofis yang berat.