Oleh: Kuldip Singh
Aktivis 1998 dan Sekjen Pijar Indonesia 1998
Kabar5News – Penahanan seorang Warga Negara Indonesia (WNI) oleh otoritas militer Myanmar bukan sekadar perkara hukum atau administratif.
Dalam konteks rezim militer yang represif dan wilayah yang dilanda konflik bersenjata, penahanan ini menyimpan dimensi strategis yang lebih luas.
WNI tersebut—yang disebut sebagai konten kreator—diduga berada di zona konflik yang rawan secara geopolitik dan kemanusiaan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan KBRI di Yangon telah melakukan langkah-langkah diplomatik, termasuk pendampingan hukum dan akses kekonsuleran.
Namun, dalam situasi seperti Myanmar yang tertutup dan sering abai terhadap tekanan internasional, diplomasi kerap menemukan jalan buntu.
Karena itu, usulan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad untuk mempertimbangkan OMSP (Operasi Militer Selain Perang) sebagai opsi jika diplomasi tidak berhasil, harus dipandang sebagai langkah yang sah, strategis, dan cerdas.
OMSP bukan tindakan militer agresif, melainkan bagian dari instrumen pertahanan negara untuk menyelamatkan warga negara dalam situasi krisis—melalui misi evakuasi, bantuan kemanusiaan, atau penyelamatan terbatas.
Kita tidak sedang berbicara tentang invasi atau konfrontasi bersenjata. Justru, dalam doktrin TNI, OMSP dirancang untuk memperkuat diplomasi, bukan menggantikannya.
Ia menjadi alat tekan strategis agar lawan diplomatik memahami bahwa Indonesia memiliki nyali dan kapasitas bertindak—ketika keselamatan warga dan kehormatan bangsa dipertaruhkan.
Lebih dari itu, OMSP juga dapat menjadi sarana untuk mengungkap motif di balik keberadaan WNI tersebut di wilayah konflik.
Apakah ia murni sebagai konten kreator, atau terlibat lebih jauh dalam jaringan informasi, dokumentasi, atau bahkan wilayah sensitif yang menjadi perhatian kekuatan besar dunia?
Pertanyaan ini penting untuk menjaga posisi Indonesia agar tidak menjadi korban manuver kekuatan eksternal.
OMSP dalam kasus ini akan menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia tidak mandek di meja negosiasi. Ia hadir bersama kesiapan strategis, keberanian moral, dan kecepatan bertindak.
Indonesia tidak bisa hanya berharap pada jalur lunak ketika nyawa dan keselamatan warga negara terancam. Di saat yang sama, kita juga tidak boleh gegabah.
Maka OMSP menjadi jembatan ideal: menggabungkan diplomasi dengan ketegasan, dalam bingkai hukum nasional dan internasional.
Usulan ini bukan tentang militerisasi diplomasi, melainkan diplomasi berdaulat. Dan jika kita meyakini bahwa negara berdiri untuk melindungi rakyatnya, maka opsi seperti OMSP layak dipersiapkan—bukan untuk pamer kekuatan, tetapi untuk menjaga martabat bangsa.