Oleh: Kuldip Singh
Aktivis 1998, Sekjen PIJAR Indonesia 1998, Pemerhati Politik Kesehatan Nasional
Kabar5News – Hampir setiap hari di Bandara Soekarno-Hatta, kita bisa menyaksikan pemandangan banyaknya warga negara Indonesia yang hendak terbang ke Malaysia.
Mereka bukan turis yang ingin berkunjung ke tempat wisata, melainkan pasien—rakyat kita sendiri—yang menyerah pada sistem kesehatan nasional dan berpaling ke negeri tetangga, tepatnya ke ruang perawatan di Penang, Malaysia.
Fenomena ini bukan anomali. Ini adalah gejala sistemik dari kegagalan struktural negara dalam menyediakan hak dasar kesehatan yang bermartabat.
Dalam satu dekade terakhir, Penang—dengan rumah sakitnya yang ramah, efisien, dan berorientasi pasien—telah menjadi tempat berlindung bagi ribuan warga Indonesia yang kehilangan kepercayaan pada sistem kesehatan dalam negeri.
Kesehatan: Pilar Ketahanan, Bukan Proyek Anggaran
Presiden Prabowo Subianto kerap menyuarakan pentingnya ketahanan nasional—bukan hanya militer dan pangan, tetapi juga kesehatan.
Namun mari kita renungkan, apa arti ketahanan jika dalam kondisi kritis rakyat lebih percaya dokter asing ketimbang rumah sakit di negerinya sendiri?
Kesehatan bukan sekadar urusan teknis atau anggaran. Ia adalah fondasi utama kedaulatan bangsa. Negara yang tak mampu merawat rakyatnya adalah negara yang rapuh—terlepas dari seberapa canggih alutsista atau besarnya cadangan devisa.
Malaysia Bangun Ekosistem, Indonesia Sibuk Bangun Gedung
Penang hari ini bukan hadir karena kebetulan. Sejak awal 2000-an, Malaysia membentuk Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) yang bertugas merancang strategi jangka panjang pariwisata medis.
MHTC tidak hanya mempromosikan rumah sakit, tetapi juga membangun sistem integratif antara regulasi, insentif, akreditasi, SDM, dan pelayanan pasien.

Di sisi lain, Indonesia cenderung mengutamakan pencitraan: pembangunan rumah sakit megah, pembelian alat medis berteknologi tinggi, dan digitalisasi layanan yang belum menyentuh esensi—yaitu kepercayaan dan kemanusiaan dalam pelayanan.
Kita membangun gedung, tapi mengabaikan ekosistem. Kita belanja alat, tapi melupakan etika dan insentif. Kita bangga pada aplikasi, tapi gagal memperbaiki sentuhan tangan perawat yang lelah, atau senyum resepsionis yang hilang karena beban kerja tak manusiawi.
Janji Pemerintah Baru: Antara Harapan dan Tantangan
Terkait dengan masalah kesehatan, Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming jauh-jauh hari telah menjanjikan:
- Rumah sakit unggulan berstandar internasional di setiap provinsi,
- Layanan ibu hamil dan balita gratis,
- Revitalisasi Puskesmas 4.0 dan digitalisasi layanan,
- Kemandirian produksi alat kesehatan dan obat,
- Reformasi BPJS dan pelayanan publik.
Ini adalah langkah awal yang layak diapresiasi. Namun pertanyaannya: apakah semua ini akan menjadi sistem penyembuh, atau hanya deretan proyek dengan tender dan anggaran besar?
Apakah rumah sakit internasional akan menjadi Penang di tanah air sendiri atau sekadar etalase teknologi yang tetap tak menyentuh nurani rakyat?
BPJS dan Mitos Kesembuhan Nasional
BPJS sering diposisikan sebagai “solusi final” sistem kesehatan Indonesia. Tapi mari jujur, BPJS bukan sistem pelayanan, ia hanya skema pembiayaan. BPJS tidak bisa memperbaiki ketidakramahan layanan, antrean panjang, atau diagnosis yang tak akurat.

Rakyat bukan sekadar angka “peserta aktif”. Mereka adalah manusia yang berharap bisa sembuh—tanpa merasa dipermalukan oleh sistem, dilecehkan oleh birokrasi, atau dilukai oleh arogansi institusi.
Mengapa Penang Bisa dan Kita Belum?
Jawaban dari pertanyaan di atas cukup sederhananya: mereka membangun sistem, kita membangun proyek. Dalam pengamatan saya, Penang bisa sukses dalam urusan kesehatan karena beberapa hal berikut:
- Ada insentif adil untuk dokter dan rumah sakit,
- Ada standar mutu internasional (JCI, MSQH),
- Ada pelayanan yang memudahkan, bukan mempersulit pasien,
- Dan yang paling penting: ada kemauan politik yang konsisten.
Pelayanan yang manusiawi bukan beban. Ia adalah investasi sosial dan ekonomi. Inilah yang belum menjadi kesadaran kolektif pembuat kebijakan kita.
Indonesia Bisa Menyaingi Penang, Jika…
Negeri ini punya potensi besar. Batam, Bali, Medan, Makassar bisa menjadi pusat pariwisata medis Asia. Tapi dengan syarat:
- Regulasi dan insentif harus sehat, transparan, dan akuntabel.
- Rumah sakit publik dan swasta harus bersaing dalam pelayanan, bukan proteksi.
- Humanisasi layanan jadi budaya utama, bukan jargon birokrasi.
- Pariwisata medis dimasukkan dalam kerangka ekonomi nasional—bukan hanya bidang kesehatan.
- Pendidikan dokter dan tenaga kesehatan diarahkan ke orientasi pasien, bukan hanya kelulusan dan akreditasi.
Penutup: Mengobati Rasa Sakit yang Lebih Dalam
Setiap kali rakyat kita terbang ke Penang, yang diekspor bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan—dan mungkin rasa harga diri sebagai warga negara.
Kepercayaan ini tidak bisa dibeli dengan teknologi, atau dikembalikan lewat bangunan bertingkat. Ia hanya bisa dipulihkan jika negara punya kemauan politik untuk berpihak pada rakyatnya sendiri.
Kabinet Prabowo-Gibran memegang peluang sejarah. Tapi sejarah hanya berpihak pada mereka yang berani mengubah arah, bukan sekadar mengganti slogan.
Saatnya berkata dengan lantang: cukup sudah rakyat kita menjadi pasien di negeri orang. Mari kita bangun sistem kesehatan yang menyembuhkan, merawat, dan memuliakan bangsanya sendiri.